Sejarah maulid Nabi Muhammad saw bermula ketika Allah swt hendak menurunkan seorang utusan yang akan membawa risalah dan syariat terakhir sekaligus sebagai penutup dari para nabi.
Berita ini tersebar di telinga makhluk penghuni langit, semua gempar dan sebagian para ahli terawangan mengetahui hal ini berikut dengan ciri dan tanda-tandanya. Para ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nashrani pun mengetahui. Dan mereka pun mencari, siapa utusan terakhir ini.
Kemuliaan hari kelahiran nabi ini juga diabadikan dalan Al Qur’an.
“Dan (ingatlah) ketika Isa putra Maryam berkata, “Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad).”
(Ash-Shaff: 6)
“Dan Kami tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta”.
(QS.Al-Anbiya:107)
“Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.
(QS.Yunus:58)
Begitu pentingnya hari kelaharian nabi hingga dikabarkan di dalam Al Qur’an sebagai rahmat bagi alam semesta dan Allah menyuruh kita untuk bergembira atas karunia dan rahmatnya ini.
Kelahiran Nabi Muhammad saw
Pada hari senin, 12 Rabiul Awal Tahun Gajah, lahirlah seorang anak dari pasangan Abdullah dan Aminah yang kemudian diberi nama Muhammad, seorang nabi yang terakhir dimana tidak ada nabi lagi setelah ini. Nama Muhammad merupakan nama secara lahiriah/jasad sedangkan nama ruh Beliau yang terkenal di langit adalah Ahmad.
Sejak kecil Nabi Muhammad termasuk anak yatim. Abdullah wafat ketika Nabi Muhammad masih berada di dalam kandungan sedangkan ibunya wafat saat Beliau masih berumur 6 tahun. Pada saat itu, Ibunda Aminah wafat ketika sepulang dari mengajak Nabi Muhammad kecil untuk berziarah ke makam ayahnya (Abdullah).
Baca juga: hukum mengadakan maulid nabi
Sejarah Maulid Nabi
Ketika Nabi Muhammad saw lahir, pamannya yang bernama Abu Lahab sangatlah senang atas kelahiran keponakannya ini. Rasa gembiranya ini diekspresikan dengan cara mengundang masyarakat dalam jamuan makan dan puncaknya di depan umum, ia membebaskan budaknya yang bernama Tsuwaibah.
Tsuwaibah adalah budaknya Abu Lahab yang telah memberikannya kabar pertama kali atas kelahiran Nabi Muhammad kepada Abu Lahab. Dalam hadist shahih Bukhari diterangkan bahwa Abu Lahab mendapat keringanan siksaan kubur setiap hari senin dan mendapatkan minuman yang keluar diantara jarinya berkat senang merayakan kelahiran nabi padahal Abu Lahab meninggal dalam keadaan kafir.
Dalam sebuah riwayat Abu Qatadah Al Anshari radliallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah ditanya mengenai puasa pada hari Senin, maka beliau pun menjawab: “Di hari itulah saya dilahirkan, dan pada hari itu pula, wahyu diturunkan atasku.” (HR. Muslim) [No. 1162 Syarh Shahih Muslim] Shahih.
Bahkan para sahabat nabi juga menganggap sakral hari kelahiran nabi yakni tepatnya saat pada kekhalifahan Umar bin Khattab ra menetapkan acuan penanggalan Islam, hari lahir nabi menjadi salah satu usulan. Ini bisa kita lihat pada kitab karangan Imam al-Sakhawi dalam Al-I’lan bi al-Taubikh li Man Dzamma al-Tarikh.
Intinya, bersuka cita atas kelahiran Nabi Muhammad saw sudah dilakukan sejak zaman nabi dan zaman salafus sholih bahkan oleh nabi sendiri. Akan tetapi perayaan secara besar-besaran barulah dilakukan di zaman setelahnya.
Perayaan Maulid Nabi Secara Besar-Besaran
Perayakan maulid nabi secara besar-besaran pertama kali dilakukan oleh kalangan mahzab syiah ismailiyah, Abu Tamim Maad Al-Muizz Lidinillah (341-365 H) dari dinasti Fatimiyah yang bermahzab Syiah Ismailiah di Kairo, Mesir.
Adapun dalam acaranya dibuat beberapa susunan acara seperti ceramah agama, pembacaan ayat suci al-Qur’an serta pemberian hadiah-hadiah untuk para tokoh dan masyarakat secara umum. Sang raja membagikan 6.000 dirham, 40 piring kue, karamel, madu, gula-gula dan minyak wijen.
Menurut Ibnu Katsir dalam kitab Tarikh dan Imam Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitab Al-Hawi li al-Fatawi, perayaan maulid nabi secara besar-besaran dilakukan pada masa kerajaan Ibril (Iraq) dibawah kekuasaan Sultan Muzhaffar Al-Kaukabri (604 H) yang merupakan raja yang sholeh. Sang sultan menyiapkan acara ini hingga 3 hari sebelum hari lahir nabi.
Ia mengundang semua masyarakat serta para ulama dari berbagai bidang ilmu diantaranya ilmu fiqih, ilmu tassawuf, ilmu kalam, ilmu hadist dan membuat jamuan makan (sedekah makanan) dalam jumlah yang banyak. Daging unta dan domba banyak disembelih untuk kegiatan ini. Para ulama berpendapat ini acara yang baik.
Pada masa yang sama, Sultan Salahuddin Al Ayubi juga melakukan perayaan maulud nabi secara besar-besar di semua penjuru yang berada dalam kekuasaan Dinasti Ayubiyah yang meliputi daerah Mesir, Suriah, Iraq, Hijaz (Mekah Madinah) dan sebagian wilayah Yaman.
Jadi kesimpulannya perayaan maulid Nabi Muhammad saw
1. Kita diperintahkan oleh Allah untuk bergembira (senang) atas karunia dan rahmat yang diberikan Allah kepada kita. Nah, karunia dan rahmat terbesar bagi alam semesta adalah kelahiran Nabi Muhammad saw di dunia ini.
2. Nabi Muhammad merayakan hari lahirnya dengan berpuasa setiap hari senin.
3. Perayaan besar-besaran sebagai ekspresi gembira atas kelahiran nabi dilakukan sejak jaman klasik baik oleh kalangan Islam Sunni maupun Syiah.
4. Perayaan maulid nabi bisa dilakukan dengan kegiatan positif yang tidak bertentangan dengan syariat misalnya bersedekah, puasa, membaca sejarah nabi, memperbanyak sholawat dsb.
5. Abu lahab yang meninggal dalam keadaan kafir saja mendapatkan keringanan siksa kubur akibat merayakan maulid nabi apalagi kaum muslimin.
6. Para ulama memandang perayaan besar-besaran terhadap hari kelahiran nabi adalah sesuatu yang baik sebagian mengganggap sebagai bid’ah hasanah (sesuatu kebaikan yang tidak dilakukan nabi)