Penggunaan Bahasa Jurnalistik Dalam Media

Gambar. Seorang wartawan harus mampu dengan cepat menjelaskan sesuatu yang luas dengan bahasa sederhana (Foto: Siswapedia.com)

Bagaimana penggunaan bahasa jurnalistik dalam media ? Apakah memang ada yang disebut bahasa jurnalistik secara khusus ?.

Jawaban dari pertanyaan ini bisa ya, bisa tidak. Jawaban iya, karena memang ada banyak perbedaan-perbedaan tertentu antara bahasa yang dipakai dalam karya-karya jurnalistik dan bahasa yang dipakai dalam karya-karya tulis lainya.

Jawaban tidak, karena bahasa jurnalistik juga sama saja dengan bahasa yang digunakan secara umum, yaitu mengikuti aturan-aturan bahasa yang baku, mengikuti tata bahasa yang berlaku, dan mempergunakan kosakata yang sama.

Tetapi, dalam penulisan jurnalistik ada hal-hal yang perlu dipertimbangkan yaitu sifat tulisan jurnalistik sebagai media komunikasi. Kenyataan ini memberikan tekanan akan pentingnya sifat-sifat bahasa jurnalistik yang sederhana, jelas, nyata, dan disampaikan secara langsung dalam sebuah tulisan berita.

Selain berpangkal pada kenyataan, karya jurnalistik juga dibatasi oleh keharusan untuk menyampaikan informasi secara cepat. Karya jurnalistik memang ditulis dengan tergesa-gesa. Ingat bahwa dalam sejarahnya ada istilah “journalism is history in a hurry”, yang berarti jurnalisme dalam sejarahnya ditulis tergesa-gesa.

Penggunaan Bahasa Jurnalistik Dalam Media
Gambar. Seorang wartawan harus mampu dengan cepat menjelaskan sesuatu yang luas dengan bahasa sederhana (Dok. Siswapedia)

Oleh karena itu, bahasa yang digunakannya atau penggunaan bahasa jurnalistik dalam media juga bahasa yang cocok untuk ditangkap dengan cepat, sederhana, dan langsung. Berbeda dengan bahasa sastra yang menuntut bahasa yang indah.

Bahasa Jurnalistik Semakin Berkembang

Perkembangan bahasa jurnalistik Indonesia dalam empat dekade terakhir makin pesat saja. Kepesatannya dapat terlihat jika kita membandingkan bahasa yang dipakai surat kabar-surat kabar empat puluh tahun yang lalu dengan bahasa yang dipakai surat kabar-surat kabar sekarang.

Banyak istilah-istilah yang tadinya masih menggunakan bahasa asing misalnya, kini sudah ada istilahnya yang baru dalam bahasa Indonesia.

Istilah atau kosakata-kosakata baru sebagai pengganti istilah-istilah dan kosakata-kosakata asing dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi maupun perdagangan bukan saja ditemukan terus-menerus oleh badan-badan resmi.

Tetapi juga disahkan langsung oleh kalangan pers sendiri terutama oleh kantor berita yang sering disebut sebagai kesepakatan style house, style book, atau istilah lainya sering disebut sebagai “gaya selingkung” media.

Salah satu masalah yang seiring dihadapi oleh pers Indonesia adalah masalah mengusahakan “pemurnian” bahasa dengan menyingkirkan perkataan-perkataan asing yang pada dasarnya sudah populer di masyarakat. Penyempurnaan jurnalistik oleh pers Indonesia tidak termasuk melakukan hal seperti itu.

Penggantian istilah-istilah asing yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan istilah baru malah akan menimbulkan kesulitan.

Kendala dalam Membuat Produk Jurnalistik dengan Bahasa yang Baik

Tanggung jawab bagi seorang wartawan itu berat (terutama wartawan media cetak) karena mereka dapat dimintai pertanggung jawaban tentang apa yang telah mereka tulis. Apa yang mereka tulis semuanya terekam, dan apa yang terekam kemudian di ikuti orang.

Seperti telah berkali-kali disinggung, bahasa jurnalistik itu hampir selalu jelas, meskipun gaya tulisannya tidak istimewa. Ia mengikuti aturan tentang bahasa yang sederhana, ringkas, dan langsung. Tetapi, sudah terlalu sering terjadi bahasa di surat kabar terasa rutin, dangkal, atau dinodai oleh banyak kesalahan yang sebenarnya dapat dihindari.

Bahasa Jurnalistik Tetap Merujuk Pada EBI

Petunjuk penulisan produk-produk jurnalistik masih merujuk pada Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), lalu ditambah lagi dengan Sepuluh Pedoman Pemakaian dalam Pers.

Beberapa media ada yang betul-betul patuh terhadap pedoman EBI, ada juga yang tidak patuh terhadap EBI. Tapi kebanyakan media tidak patuh terhadap pedoman EBI.

Hal ini lantaran pedoman pada gaya kepenulisan model EBI terasa kaku, dan kadang susah diterima oleh pembaca. Misalnya pada kata smartphone.

Walaupun kata smartphone ini sudah ada istilah bakunya yang disebut sebagai gawai. Masyarakat lebih sering menggunakan kata smartphone. Inilah mengapa banyak penggunaan bahasa jurnalistik dalam media yang tidak benar-benar patuh dengan gaya kepenulisan sesuai dengan EBI.

Pos terkait