Sistem Kekebalan Tubuh Nonspesifik

Sel Fagosit
Gambar. Sel Fagosit (Sumber: Pearson Education. Inc, 2006, Publishing as Benjamin Cummings)

Sistem Kekebalan Tubuh Nonspesifik – Sistem kekebalan tubuh bisa kita ibaratkan sebagai sebuah pasukan militer yang mempunyai peran menjaga kedaulatan suatu negara dari serangan musuh. Musuh disini bisa diartikan sebagai organisme-organisme yang dapat menyebabkan penyakit pada tubuh manusia atau yang disebut sebagai patogen. Patogen yang biasa menyerang manusia diantaranya virus ebola, bakteri TBC dan virus korona yang dapat menyebabkan penyakit SARS.

Secara umum, sistem kekebalan tubuh manusia dapat kita bedakan menjadi dua macam yakni sistem kekebalan tubuh nonspesifik dan sistem kekebalan tubuh spesifik. Lalu, apa perbedaanya?, pada sistem kekebalan tubuh nonspesifik, dalam bekerja ia tidak memperdulikan jenis patogen yang menyerang, dengan kata lain semua patogen akan dilawan. Sedangkan sistem kekebalan tubuh spesifik hanya akan bekerja jika sebuah jenis patogen tertentu telah mampu melewati sistem pertahanan nonspesifik internal. Nah, pada halaman ini kita akan pelajari tentang sistem kekebalan tubuh nonspesifik saja. Adapun yang nonspesifik akan kita pelajari pada halaman selanjutnya.

Sistem kekebalan tubuh nonspesifik terdiri dari dua macam yakni sistem pertahanan eksternal dan sistem pertahanan internal. Pada sistem pertahanan eksternal diperankan oleh jaringan epitel, mukosa dan proses sekresi pada jaringan tersebut sedangkan sistem pertahanan internal diperankan oleh pertahanan yang dirangsang dari sinyal-sinyal kimia, sel fagosit dan protein antimikroba.

1. Sistem Kekebalan Tubuh Nonspesifik Eksternal

Sistem pertahanan tubuh nonspesifik eksternal merupakan sistem pertahanan tubuh terluar atau sistem yang pertama akan menerima serangan dari antigen atau patogen, yakni organisme yang dapat menyebabkan penyakit seperti bakteri, jamur atau virus. Sistem pertahanan ini diperankan oleh kulit dan membran mukosa yang menghasilkan lendir, air liur, air mata dan sekresi mukosa (mukus).

Kulit merupakan pertahanan tubuh terbesar dan mudah dilihat. Secara normal, kulit tidak mampu ditembus oleh bakteri kecuali jika ada kerusakan (misalnya luka), maka bakteri atau virus dapat masuk ke dalam tubuh melalui jalan ini. Jika kulit dapat ditembus oleh patogen, maka pada bagian tersebut akan terjadi infeksi penyakit sehingga terjadi peradangan. Nah, disaat inilah kemudian tubuh akan mulai merespon dimana aliran darah yang membawa banyak sel darah putih meningkat. Akibatnya, suhu pada daerah yang terinfeksi akan meningkat pula. Disini, sel darah putih akan bekerja membunuh patogen sehingga muncul benjolan yang sering dinamakan sebagai bisul (abses). Di dalam bisul atau abses terdapat nanah yang berisi patogen/antigen yang telah hancur dan bercampur dengan serum darah putih. Selain kulit, juga ada membran mukosa yang terdapat pada saluran kelamin, pernapasan atau saluran pencernaan yang dapat menghalangi bakteri masuk ke dalam tubuh.

Apakah bentuk perlawanan kulit dan membran mukosa hanya itu saja? tidak hanya itu. Kulit dan membran mukosa juga akan melakukan perlawanan terhadap patogen dalam bentuk senyawa kimiawi. Misalnya, sekresi oleh kelenjar lemak dan kelenjar keringat pada kulit membuat keasaman (pH) permukaan kulit pada kisaran 3–5. Kondisi tersebut cukup asam dan mencegah banyak mikroorganisme berkoloni di kulit kita. Air liur, air mata dan sekresi mukosa (mukus) yang disekresikan jaringan epitel dan mukosa dapat melenyapkan banyak bibit penyakit yang potensial. Proses sekresi ini mengandung lisozim yaitu suatu enzim yang dapat menguraikan dinding sel bakteri. Selain itu, bakteri flora normal tubuh pada epitel dan mukosa dapat juga mencegah koloni bakteri patogen (Fictor Ferdinand,Hal.204-205).

Adakah contoh perlawan lainnya? ada. Perlawanan ini antara lain lambung yang memproduksi asam lambung (HCl) untuk membunuh kuman-kuman yang masuk bersama makanan yang kita makan, keasaman pada vagina dan urin yang dapat menghambat pertumbuhan bibit penyakit tertentu, refleks batuk atau bersin yang berfungsi mencegah debu masuk ke dalam paru-paru atau gerakan peristaltik pada usus yang mendorong bibit penyakit yang ada di dalam usus sehingga segera dapat keluar bersama feses atau kotoran.

2. Sistem Kekebalan Tubuh Nonspesifik Internal

Sistem kekebalan tubuh nonspesifik internal (dalam) akan menyerang semua patogen yang mampu lolos dari perlawanan sistem kekebalan tubuh luar atau eksternal (kulit dan membran mukosa). Sistem pertahanan internal ini merupakan pertahanan yang dilakukan oleh dalam tubuh itu sendiri yang diperankan oleh sel fagosit dan protein antimikroba.

Sel Fagosit
Gambar. Sel Fagosit (Sumber: Pearson Education. Inc, 2006, Publishing as Benjamin Cummings. Diambil dari situs mediahex.com )

a. Sel Fagosit

Sel fegosit terdiri dari beberapa jenis sel darah putih yakni neutrofil dan monosit yang membunuh mikroba dengan cara fagositosis yaitu memakan mikroba yang masuk ke dalam tubuh. Sekitar 60%-70%, kandungan dalam sel darah putih adalah neutrofil. Neutrofil dapat mendeteksi sel yang terjangkit penyakit setelah menangkap sinyal kimiawi. Kemudian neutrofil akan keluar dari peredaran darah menuju sel yang terjangkit penyakit untuk membunuh patogen. Setelah mampu membunuh patogen, neutrofil juga akan mengalami kematian.

Sekitar 5% kandungan dalam sel darah putih adalah monosit. Ia dapat memberikan perlindungan efektif dengan menyerang sel yang terjangkit penyakit setelah beberapa jam bersirkulasi dalam darah. Monosit kemudian akan berubah menjadi makrofag. Ia menjulurkan pseudopodia (kaki semu) untuk menarik mikroba kemudian menghancurkannya dengan enzim pencernaannya. Lalu apa semua mikroba dapat dihancurkan seperti itu? tidak semua, beberapa mikroba dapat menangkal serangan dari monosit dengan cara membuat kapsul yang dapat menolak tarikan dari kaki semu makrofag bahkan ada bakteri yang dapat menangkal serangan dari enzim-enzim sehingga mampu bereproduksi dalam makrofag. Sekitar 1,5% kandungan dalam sel darah putih berupa eosinofil yang memiliki enzim penghancur di dalam granul sitoplasmanya. Ia dapat berperan dalam membunuh cacing parasit yang masuk ke dalam tubuh manusia. Agar lebih jelas, berikut gambar eosinofil, monosit dan neutrofil.

Lenfosit, monosit dan neutrofil dalam sel darah putih
Gambar. Lenfosit, monosit dan neutrofil dalam sel darah putih (Sumber: hematoloji.org.tr dan pathologyoutlines.com)

Selain sel fegosit di atas, dalam tubuh manusia juga terdapat sel pembunuh alami yang menyerang mikroba secara tidak langsung. Sel pembunuh alami ini akan membunuh sel-sel yang telah dirusak oleh virus atau bakteri sehingga tidak menyebabkan tumor.

b. Protein Antimikroba

Ada sekitar 20 jenis protein antimikroba yang terdapat dalam tubuh manusia, protein ini dinamakan sebagai sistem komplemen. Protein ini dapat menyerang bakteri secara langsung dengan menyerang membran sel atau membuat lubang pada dinding sel bakteri hingga mengalami lisis (pecah). Selain itu protein ini juga dapat menyerang secara tidak langsung yakni dengan menghambat reproduksi bakteri di dalam tubuh.

Pada dasarnya, sistem komplemen memiliki sifat nonaktif dan bersirkulasi di dalam darah. Namun saat salah satu protein komplemen bersinggungan dengan bakteri, maka salah satu protein tersebut akan menjadi aktif lalu memicu ke-aktifan protein lainnya yang tergabung dalam sistem komplemen. Ini akan menjadi sebuah reaksi pengaktifan skala besar. Aktivitas protein komplemen terjadi jika protein komplemen berikatan dengan antigen, yakni protein yang telah dikuasai oleh virus atau bakteri.

3. Respons Tubuh pada Sistem Pertahanan Tubuh Nonspesifik

Respon tubuh terhadap serangan mikroba patogen dapat berupa peradangan dan demam. Peradangan merupakan reaksi dari tubuh terhadap rusaknya sel akibat infeksi virus, pengaruh zat-zat kimia atau gangguan fisik lainnya. Peradangan dapat memiliki gejala pembengkakan, panas, bisul atau gatal-gatal. Diantara gejala tersebut, demam adalah yang paling sering terjadi. Demam dapat melemahkan kinerja patogen yang tidak suka dengan suhu yang tinggi.

Bakteri, virus, sel-sel kanker dan sel-sel yang mati menghasilkan zat yang dinamakan pyrogenexogen. Zat tersebut dapat merangsang makrofag dan monosit mengeluarkan zat pyrogen-endogen yang merangsang hipotalamus menaikkan suhu tubuh sehingga timbul perasaan dingin, menggigil dan suhu tubuh yang meningkat (Fictor Ferdinand, Hal.206).

[color-box]Ferdinand, Fictor P dan Moekti Ariebowo.2009.Praktis Belajar Biologi 2 untuk SMA/MA Kelas XI. Jakarta: Visindo Media Persada.
Sri, Lestari Endang.2009.Biologi 2 Makhluk Hidup Dan Lingkungannya Untuk SMA/MA Kelas XI. Solo: CV Putra Nugraha.
Rachmawati, Faidah dkk.2009.Biologi Untuk SMA/MA Kelas XI Program IPA. Jakarta: CV Ricardo. [/color-box]

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

4 Komentar

    1. Semua berperan,,, kalau yang paling luar dari kulit yakni sel sel epitel yang tersusun rapat sehingga patogen sulit menembus ke dalam kulit