Sejarah Bima Bagian Pertama (Zaman Prasejarah dan Zaman Ncuhi) – Sejarah daerah Kabupaten Bima dimulai dari 1) zaman prasejarah, 2) zaman Hindhu, 3) zaman Kesultanan Islam, 4) zaman penjajahan Belanda, 5) zaman penjajahan Jepang, 6) zaman kemerdekaan Republik Indonesia, 7) Jaman Republik Indonesia Serikat dan 8) Jaman NKRI-hingga saat ini.
Zaman Prasejarah dan Zaman Ncuhi
Tidak banyak ditemukan sumber sejarah yang bisa dijadikan rujukan untuk mengungkap kejadian penting pada zaman prasejarah. Dalam catatan lama istana Bima (BO) hanya disinggung bahwa sebelum masa sejarah, masyarakat bima mengalami zaman prasejarah dimana masyarakatnya mengenal 6 hal.
1. Mengembara.
2. Masyarakat pengumpul.
3. Belum mengenal tulis-menulis.
4. Hidup secara berkelompok dimana setiap kelompok memiliki kepala suku.
5. Menganut kepercayaan animisme dan dinamisme.
6. Belum mengenal sistem pertanian dan peternakan.
Setelah masa prasejarah kemudian perkembanglah masa peralihan yakni masa proto sejarah atau ambang sejarah. Masa ambang sejarah sering dinamakan sebagai zaman Ncuhi. Kata “Ncuhi” berasal dari bahasa Bima yaitu “Suri” yang berubah menjadi “Ncuri” hingga berubah menjadi “Ncuhi”. Ncuhi bermakna bahwa masyarakat Bima dalam kehidupannya sudah mulai berubah misalnya sudah mulai hidup menetap, mengenal pertanian-peternakan secara sederhana serta sudah mulai menyempurnakan tatanan sosial yang nantinya digunakan untuk pedoman dalam kehidupan.
Pada zaman Ncuhi, struktur pemerintahannya masih sangat sederhana yakni hanya ada dua lembaga yang bertugas mengatur kehidupan masyarakat yaitu Ncuhi dan Anggota Masyarakat. Pemerintahannya masih menggunakan sistem adat dimana dalam pelaksanaannya harus berdasarkan musyawarah.
Pada saat itu, Ncuhi bertugas selayaknya kepala suku sekaligus pemimpin masyarakat dimana seorang Ncuhi hanya bisa diganti oleh seseorang yang masih dalam satu garis keturunan Ncuhi dengan jalan musyawarah. Dalam BO dijelaskan bahwa Ncuhi merupakan manusia utama, penghulu masyarakat serumpun yang memimpin dan melindungi masyarakat dimana tuntunannya harus ditaati dan dihormati.
Peraturan adat pada zaman Ncuhi menjadi norma kehidupan masyarat Bima pada saat itu. Pada masa perkembangannya, tatanan adat ini sebagian masih dipertahankan dan tetap digunakan meski zaman sudah berubah menjadi zaman kerajaan maupun zaman kesultanan. Dari adat ini munculah lembaga bernama Sara Dana Mbojo. Hadat merupakan pengemban yang melaksanakan hukum adat.
Pada zaman Ncuhi, masyarakat Bima hidup berkelompok yang diikat oleh hubungan kekeluargaan (pertalian darah), persekutuan wilayah, perasaan senasib dan sepenanggungan. Nah, penamaan Ncuhi sendiri disesuaikan dengan wilayah yang ditinggali misalnya Ncuhi Pupa, Ncuhi Doro Wuni, Ncuhi Padolo, Ncuhi Dara, Ncuhi Parewa Kabuju, Ncuhi Kala, Ncuhi Palama, Ncuhi Kolo, Ncuhi Padende dsb.
Pada akhir masa Ncuhi, para Ncuhi melakukan musyawarah di Doro Dara atau Doro Babuju yang menghasilkan keputusan untuk saling menjalin kerjasama antar Ncuhi sehingga dibentuklah koordinator para Ncuhi. Ncuhi Dara pada saat itu dipilih sebagai ketua koordinatornya dimana terdapat lima Ncuhi yang bertugas sebagai koordinator.
1. Ncuhi Dara mengatur wilayah Bima bagian tengah sekaligus sebagai ketua koordinator.
2. Ncuhi Parewa mengatur wilayah Bima bagian selatan.
3. Ncuhi Bolo mengatur wilayah Bima bagian Barat.
4. Ncuhi Banggapupa mengatur wilayah Bima bagian utara.
5. Ncuhi Doro mengatur wilayah Bima bagian timur.
Dilihat dari apa yang dilakukan pada masa Ncuhi, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa pada zaman Ncuhi masyarakat Bima sudah mampu berfikir maju. Sikap ini bisa dilihat dari adanya kerjasama antar masyarakatnya. Selain itu, kehidupan masyarakatnya dilakukan dengan cara kekeluargaan, mengenal sistem musyawarah, mengenal sikap gotong-royong, saling hormat-menghormati serta sudah sadar dan mengenal arti persatuan dan kesatuan.
Pada masa Ncuhi, masyarakat Bima juga telah mampu membina hubungan dengan masyarakat daerah lain seperti Jawa, Sulawesi Selatan, Melayu dan Maluku. Hubungan ini tercipta melalui hubungan perdagangan atau perniagaan. Bima pada saat itu menjadi tempat jalur pedagangan Indonesia bagian timur. Iklim perdagangan ini semakin pesat berkat adanya pelabuhan yang strategis serta keadaan alam Bima yang menghasilkan bahan-bahan seperti rotan, kayu soga, sopang serta hasil peternakan seperti kerbau dan kuda.
Selain itu, kemajuan perdagangan di Bima meningkat berkat pula adanya pengaruh dari Raja Airlangga (abad 11 Masehi) yang mengambil kebijakan untuk memajukan kerajaannya melalui hubungan perdagangan dengan wilayah lain di Indonesia timur. Sontak hal ini membuat jalur perniagaan Indonesia timur pada saat itu menjadi kian ramai. Adanya hubungan dengan daerah luar membuat ilmu pengetahuan dan teknologi masuk ke daerah Bima namun adat istiadat tetap dipertahankan. Hal inilah yang menjadi awal sejarah kemajuan Kerajaan Bima.
Daerah Bima memiliki dua nama yakni “Mbojo” dan “Bima”. Lahirnya dua nama ini erat hubungannya dengan zaman Ncuhi. Kemungkinan nama “Mbojo” lebih dahulu digunakan yakni nama yang diambil dari kata “Babuju” yang merupakan nama bukit tempat berlangsungnya musyawarah para Ncuhi sedangkan nama “Bima” diambil dari nama seorang musafir dari tanah jawa yang bergelar “Sang Bima”. Musafir ini dikenal pada masa awal kerajaan.
[color-box]L. Masier Q. Abdullah dkk. Buku Sejarah Kabupaten Bima yang dijilid oleh Perpustakaan Kota Bima.[/color-box]