A. Sejarah Taman Sari Keraton Yogyakarta
Taman sari atau taman keraton Yogyakarta (Water Castle) merupakan taman sekaligus sebagai benteng pertahanan terakhir kesultanan Yogyakarta pada masa penjajahan Belanda. Taman ini dibuat pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono I pada tahun 1758 hingga 1768.
Sebagian ahli sejarah menyakini, pembangunan taman sari ini merupakan taktik dan strategi Sri Sultan Hamengkubuwono I untuk mengelabuhi Belanda karena menurut penjanjian Gianti yang dilaksanakan pada tahun 1755, pihak keraton Yogyakarta diwajibkan membuatkan benteng pertahanan untuk Belanda (sekarang dinamakan sebagai benteng vredeburg) yang letaknya tepat di depan keraton Yogyakarta, detail posisinya yaitu di sebelah utara Keraton.
Dengan dibuatnya taman sari ini, pihak keraton dapat menunda dan mengulur-ngulur waktu pembuatan benteng vredeberg dengan alasan para pekerja sedang sibuk membangun keraton Yogyakarta.
Berikut denah taman sari dari www.indonesianholic.com (klik untuk memperbesar gambar)
Hingga saat ini ada dua tokoh berbeda yang dikabarkan menjadi arsitek taman sari yaitu Demang Tegis (asal Portugis) dan R. Ronggo Prawirosentiko (orang Pribumi). Entah siapa yang merancangnya namun yang jelas bangunan bergaya campuran portugis dan jawa ini di ketuai oleh Tumenggung Mangundipuro (Paku Alam I) dimana biaya pembangunannya ditanggung oleh Bupati Madiun yang bernama Tumenggung Prawirosentiko. Sebagai imbalannya, daerah Madiun dibebaskan dari pajak. Saat pembangunan baru setengah jadi Tumenggung Mangundipuro mengundurkan diri sehingga proyek pembangunan taman sari diketuai oleh Pangeran Notokusumo.
Berikut lukisan taman sari pada masa awal yang diabadikan di museum Laiden (oleh: Sune di djokdja.blogspot.com), Belanda. Klik untuk memperbesar gambar.
Gambar di atas dilihat dari arah timur laut. Sedangkan gambar di bawah ini bersumber dari Geschiedenis van NI dibuat oleh Baddingh. Keadaan taman sari bila dilihat dari sisi tenggara.
Kapan pembangunan Taman Sari Keraton Yogyakarta dilakukan?
Pada mula pembangunannya, taman sari memiliki luas sekitar 12 hektar terdiri dari 57 bangunan, gedung bertingkat, danau buatan, jembatan gantung, pulau buatan, kolam pemandian, ruang bawah tanah dan taman. Luas taman sari ini membentang dari ujung barat daya keraton hingga tenggara keraton namun saat ini sisa-sisa bangunannya tinggal bagian barat saja karena rusak akibat perang, gempa bumi dan sekarang banyak tanahnya yang beralih fungsi sebagai pemukiman penduduk.
Secara fungsional, penggunaan taman sari secara efektif digunakan sejak era Sri Sultan Hamengkubuwono I hingga ke-III. Bangunan taman sari rusak akibat perang yaitu saat Inggris membombardir keraton dan taman sari pada masa Sri Sultan Hamengkubuwono II. Saat itu taman sari digunakan sebagai benteng terakhir kerajaan meskipun pada akhirnya Sri Sultan Hamengkubuwono II menyerah.
Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono III taman sari tidak digunakan secara efektif. Selain itu, keuangan kas keraton kosong sehingga tidak ada biaya untuk memperbaikinya.
Saat Sri Sultan Hamengkubuwono IV, keadaan taman sari juga tidak terawat dan tidak digunakan karena sultan lebih senang beraktivitas di luar keraton. Pada masa Sri Sultan Hamengkubuwono V terjadi perang diponegoro yang mengakibatkan Sri Sultan meninggalkan Keraton. Ini menyebabkan bangunan taman sari semakin tidak terawat.
Kerusakan terparah taman sari berpuncak ketika pemerintahan Keraton Yogyakarta dijabat oleh Sri Sultan Hamengkubuwono VI. Pada saat itu, Jogja dilanda gempa bumi besar sehingga merusak sebagian besar bangunan di taman sari. Untuk lebih jelas bagian bangunan apa saja yang masih tersisa, kita akan membahasnya di halaman lain.
Daftar Pustaka:
Catatan Amangkurat, Blog: amangkuratprastono.blogspot.co.id (diakses: 20/6/2017)
Informasi pemandu wisata.
Ulul Rosyad di akarasa.com (diakses: 20/6/2017)