Ruang Lingkup Sejarah

Pangeran Diponegoro sebagai salah satu pahlawan kemerdekaan Indonesia
Gambar. Pangeran Diponegoro sebagai salah satu pahlawan kemerdekaan Indonesia (Sumber: luk.staff.ugm.ac.id)

Ruang Lingkup sejarah mencakup empat hal yaitu sejarah sebagai peristiwa, sejarah sebagai kisah, sejarah sebagai ilmu dan sejarah sebagai seni. Bagaimana penjabaran ruang lingkup sejarah ini?, kita akan membahasnya disini.

1. Sejarah sebagai peristiwa

Apabila kita melihat masa lampau, maka kita akan menemukan banyak sekali peristiwa yang telah terjadi. Namun kita harus bisa membedakan peristiwa-peristiwa tersebut -apakah penting untuk dipelajari atau tidak?-.

Sebuah peristiwa dikatakan penting apabila peristiwa tersebut menjadi sangat berpengaruh terhadap terjadinya peristiwa-peristiwa lainnya atau berpengaruh terhadap kehidupan berikutnya. Bisa jadi, sebuah peristiwa itu dianggap tidak penting pada masanya namun akan dirasa sangat penting pengaruhnya pada masa yang akan datang.

Pangeran Diponegoro sebagai salah satu pahlawan kemerdekaan Indonesia
Gambar. Pangeran Diponegoro sebagai salah satu pahlawan kemerdekaan Indonesia (Sumber: luk.staff.ugm.ac.id)

Berbicara tentang sejarah sebagai peristiwa, kita dihadapkan dengan sebuah kejadian penting, kenyataan dan aktualitas yang telah terjadi pada masa lampau yang tidak akan terulang lagi.

Peristiwa atau kejadian penting inilah yang menjadi pokok pembicaraan dalam sejarah. Dengan kata lain, sejarah hanya akan membahas terkait peristiwa-peristiwa penting di masa lampau yang erat kaitannya dengan kehidupan manusia.

Nah, dari peristiwa-peristiwa yang telah lalu ini kemudian diharapkan kita dapat mengetahui hubungan sebuah sebab-akibat antara peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain dalam konteks pelaku, waktu dan tempat sehingga terbentuklah susunan rangkaian peristiwa yang terjadi di masa lampau hingga masa saat ini.

Akan tetapi perlu kita ketahui bahwa sejarah sebagai peristiwa yang telah terjadi pada masa lampau mengakibatkan kita saat ini kesulitan dalam mengamati peristiwa tersebut sehingga yang dapat kita amati adalah sejarah sebagai kisah, yakni penelaahan sejarah sebagai kisah suatu peristiwa.

2. Sejarah sebagai kisah

Berbicara terkait sejarah sebagai kisah tidak bisa dilepaskan dengan peristiwa masa lampau yang disajikan ke dalam berbagai bentuk narasi maupun tafsiran. Kisah yang disajikan pun dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis.

Secara lisan, kisah dapat disampaikan dalam bentuk ceramah, pidato dan sebagainya. Sedangkan secara tertulis, kisah dapat dituangkan dalam bentuk cerpen, majalah atau buku.

Oleh karena dikisahkan, maka sejarah dapat bersifat subjektif tergantung si penulis misalnya tentang perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda.

Di perang kemerdekaan ini, bila yang mengisahkan sejarah adalah orang Belanda, maka perang ini menjadi berisi tentang perang tentara Belanda melawan pemberontakan namun bila yang mengisahkan merupakan rakyat Indonesia, maka perang ini berarti sebagai perang melawan penjajahan Belanda.

Subjektivitas seperti ini terjadi lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor kepribadian si penulis atau penutur sejarah. Adapun faktor-faktor tersebut antara lain (Dikutib dari Tarunasena,hal.15-20):

a. Kepentingan atau interes dan nilai-nilai

Kepentingan dan nilai-nilai dalam penulisan sejarah sangat ditentukan oleh tujuan dari penulisan sejarah itu sendiri. Dalam penulisan tersebut berbagai kepentingan akan muncul, entah itu kepentingan individu, kelompok ataupun lembaga formal seperti negara.

Hal inilah yang menyebabkan kisah sejarah menjadi tidak objektif, dengan kata lain bersifat subjektif. Subjektivitas ini ditentukan pula oleh nilai-nilai yang dimiliki si penulis sejarah seperti agama, keyakinan, moral, etika dan sebaginya.

b. Kelompok sosialnya

Dalam kelompok sosial, pada umumnya seorang individu akan berhubungan dengan orang lain yang memiliki status atau pekerjaan yang sama misalnya wartawan, guru, sejahrawan dan lain sebagainya. Inilah yang dinamakan sebagai kelompok sosial.

Nah, seorang guru bisa saja ia menuliskan kisah sejarah untuk digunakan sebagai bahan pengajaran di sekolah atau seorang wartawan yang menuliskan kisah sejarah untuk mengkritisi suatu kebijakan pemerintah saat ini.

Dari kedua orang tersebut (guru dan wartawan) bisa saja akan menghasilkan tulisan sejarah yang berbeda tergantung dari interpretasinya masing-masing.

c. Perbendaharaan pengetahuan

Pengetahuan yang dimiliki oleh si penulis akan mempengaruhi hasil tulisannya. Pengetahuan tersebut dapat berupa pengetahuan fakta dimana seorang penulis yang memiliki pengetahuan fakta lebih banyak tentunya akan dapat mengkisahkan peristiwa sejarah jauh lebih detail, lengkap dan informasinya lebih banyak.

d. Kemampuan berbahasa

Seorang penulis yang memiliki kemampuan berbahasa dengan baik, ia akan dapat menyampaikan fakta-fakta terkait peristiwa sejarah sehingga orang lain dengan mudah dapat memahaminya.

Namun sebaliknya, meskipun fakta-fakta yang dikuasai oleh seorang penulis sangatlah banyak bila ia tidak memiliki kemampuan berbahasa dengan baik, maka orang lain tidak akan mudah mengerti terkait fakta sejarah yang dipaparkan.

Nah, untuk meminimalisir pengaburan sejarah atau dengan kata lain untuk membuat penafsiran sejarah dapat mendekati kebenaran (sesuai dengan peristiwa yang terjadi), maka pembuatan kisah sejarah harus dapat dipertanggungjawabkan dimana motode serta analisisnya menggunakan pendekatan tertentu.

Dalam merangkai suatu kisah sejarah, seorang sejahrawan harus mengumpulkan jejak-jejak sejarah yang ditinggalkan oleh sejarah sebagai peristiwa lalu melakukan penelaahan dengan sangat teliti, bijaksana serta dapat dipertanggungjawabkan.

3. Sejarah sebagai ilmu

Sejarah bisa dikatakan sebagai ilmu dikarenakan merupakan pengetahuan masa lampau (objek) yang disusun secara sistematis dengan metode kajian secara ilmiah, menggunakan pemikiran yang rasional serta bersifat objektif untuk mendapatkan kebenaran dan fakta mengenai peristiwa masa lampau (Wardata, hal.5).

4. Sejarah sebagai seni

Sejarah tidak hanya dapat dipandang dari segi etika dan logika saja melainkan dapat pula dipandang dari segi estetika. Menurut pemikiran seorang sejahrawan dan filsuf modern -Dithley- bahwa sejarah merupakan pengetahuan tentang cita rasa.

Ketika kita mengumpulkan jejak-jejak sejarah kemudian menyeleksinya secara ilmiah, maka data dari hasil seleksi itu belum bisa dikatakan sebagai sejarah melainkan hanya berupa sumber lepas atau kronik yang kita gunakan untuk menyusun sejarah sebagai kisah.

Semuanya baru bisa dikatakan sejarah setelah dirangkai atau disusun oleh seorang sejarawan atau peminat sejarah dengan menggunakan metode sejarah. Nah, inilah yang menyebabkan meskipun beberapa orang menulis suatu kisah sejarah berdasarkan sumber-sumber yang sama belum tentu akan memperoleh hasil yang sama.

Meski sejarah disusun berdasarkan bahan-bahan secara ilmiah namun penyajiannya menyangkut soal keindahan bahasa dan seni penulisan sehingga kita pada umunya cenderung untuk menyimpulkan bahwa sejarah termasuk juga sebagai karya seni. Tetapi sejarah tidak benar-benar seni secara mutlak sebab proses penelitiannya dilakukan secara ilmiah.

Nah, kita telah membahas tentang ruang lingkup sejarah. Untuk pembahasan selanjutnya, bisa Anda dapat cek di Bab 01 Hakikat dan ruang lingkup ilmu sejarah.

Daftar Pustaka:

Hendrayana.2009.Sejarah 1 : Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah Jilid 1. Solo: PT. Titian Ilmu.

Listiyani,Dwi Ari.2009.Sejarah 1 : Untuk SMA/MA Kelas X .Jakarta:Grahadi.
Tarunasena.2009. Memahami Sejarah. Bandung:CV. Armico.

Wardaya.2009.Cakrawala Sejarah.Surakarta:PT. Widya Duta Grafika.

Pos terkait