Kerajaan Holing, Kerajaan Kanjuruhan, Kerajaan Melayu dan Kerajaan Tulangbawang

Candi Muara Takus
Gambar. Candi Muara Takus (Sumber:kebudayaanindonesia.net)

Pada halaman ini kita akan membahas empat kerajaan di nusantara yaitu Kerajaan Holing, Kerajaan Kanjuruhan, Kerajaan Melayu dan Kerajaan Tulangbawang dimana keempat kerajaan ini kekuasaannya relatif lebih kecil dari pada Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sriwijaya.

A. Kerajaan Holing

Berita tentang adanya sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Holing diperoleh dari sebuah informasi dari negeri tirai bambu, Cina. Dalam informasi tersebut diberitakan bahwa pada zaman Dinasti Tang ada sebuah kerajaan di Jawa Tengah (berdasarkan peta saat ini berarti dekat daerah Jepara) yang bernama Kerajaan Holing atau Kerajaan Kaling. Kerajaan ini cukup maju dimana masyarakatnya telah mengenal seni dan kerajinan sehingga mampu dikembangkan menjadi produk seperti perak, emas, gading, cula, penyu dan minuman dari air kelapa. Kerajaan Holing dikelilingi oleh pagar kayu dimana istana sang Ratu Sima berupa rumah tingkat yang atapnya terbuat dari daun rumbia dan singgahsana kerajaan terbuat dari gading.

Pada tahun 674, Kerajaan Holing atau Kerajaan Kaling dipimpin oleh seorang wanita yang bernama Ratu Sima yang terkenal sangat keras, tegas dan menjunjung tinggi sebuah nilai kejujuran. Bahkan sang ratu ini pernah memotong kaki anaknya sendiri karena terbukti telah mencuri.

Seorang pendeta Budha yang bernama I-Tsing mengkisahkan bahwa pada tahun 664 ada seorang pendeta bernama Hwining yang ditemani oleh pembantunya bernama Yunki berkunjung ke Kerajaan Holing untuk mempelajari Agama Budha. Hasil dari belajar ini membuat Pendeta Hwining mampu menerjemahkan kitab suci yang semula berasal dari bahasa sanskerta menjadi bahasa Cina. Proses penerjemahan ini dibantu oleh pendeta dari Kerajaan Holing yang bernama Janabadra. Adapun kitab terjemahan yang dibuat oleh Hwining tersebut merupakan bagian terakhir dari kitab Varinirvana yang mengisahkan tentang pembukaan jenazah Sang Buddha.

B. Kerajaan Kanjuruhan

Informasi terkait adanya kerajaan yang bernama Kerajaan Kanjuruhan diperoleh dari Prasasti Dinoyo yang berhasil ditemukan di desa Dinoyo, barat laut Malang. Prasasti ini ditulis menggunakan bahasa sansekerta. Diperkirakan, Kerajaan Kanjuruhan berdiri sekitar tahun 760 Masehi dan menjadi kerajaan tertua di daerah Jawa Timur. Prasasti Dinoyo juga mengisahkan tentang pendirian sebuah bangunan suci untuk memuja Dewa Agastya. Bangunan tersebut dibuat pada masa pemerintahan Raja Gajayana yang merupakan putra Dewasimha. Raja Gajayana ini diketahui memiliki seorang putri yang bernama Uttejana. Adapun bangunan suci tersebut dikenal dengan nama Candi Badut.

Kerajaan Kanjuruhan berkembang pesat pada masa pemerintahan Raja Gajayana namun pada tahun 847 Masehi Sri Maharaja Rakai Pikatan Dyah Saladu yang merupakan raja dari Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah melakukan ekpsansi wilayah di jawa timur dengan cara damai. Raja Gajayana tetap memerintah Kerjaan Kanjuruhan, tapi kerajaan ini di bawah kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno sehingga setiap tahun Raja Gajayana harus melapor secara administrasi ke Kerajaan Mataram Kuno.

C. Kerajaan Melayu

Informasi terkait adanya Kerajaan Melayu ini juga berasal dari catatan Cina yaitu saat pendeta I-Tsing melakukan perjalanan dari Cina menuju India dirinya sempat singgah di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Nah, saat ke Pulau Sumatera ini, ia singgah di Kerajaan Sriwijaya selama 6 bulan lalu singgah lagi di Kerajaan Melayu (sekitar daerah Jambi) selama 2 bulan yang merupakan kerajaan tertua di Sumatera. Akan tetapi saat ia bertolak dari India untuk pulang kembali ke Cina (tahun 685 M), keberadaan kerajaan ini sudah tidak ada. Sekitar tahun 682 M, Kerajaan Melayu hancur akibat gempuran dari Kerajaan Sriwijaya.

Candi Muara Takus
Gambar. Candi Muara Takus yang merupakan peninggalan Kerajaan Melayu (Sumber:kebudayaanindonesia.net)

Selain itu informasi keberadaan kerajaan ini juga didukung oleh berita lainnya dari Cina dimana pada tahun tahun 644 utusan Kerajaan Mo-lo-yeu datang ke Cina dengan membawa hasil bumi untuk sesembahan dan salam perkenalan. Kerajaan Melayu diperkirakan pernah menjalin hubungan perdagangan dengan Cina sejak abad ke 7 M (belum diketahui, pada masa ini Kerajaan Melayu dipimpin oleh siapa).

Kerajaan Melayu sempat menghilang dalam beberapa kurun waktu antara 682 M – 1182 M karena berhasil ditaklukkan oleh Kerajaan Sriwijaya, akan tetapi kemudian berhasil merdeka saat dipimpin oleh Maharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa yang kemudian mampu membawa Kerajaan Melayu bangkit kembali dan melebarkan kekuasaan hingga ke Thailand dan beberapa wilayah di Pulau Jawa. Kebangkitan Kerajaan Melayu terjadi ketika Kerajaan Sriwijaya melemah.

Kemudian kepemimpinan Kerajaan Melayu dipegang oleh Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa (1286). Luasnya wilayah kekuasaan Kerajaan Melayu membuat Kerajaan Singasari yang ada di Pulau Jawa menganggap penting sebuah perjanjian kerjasama, kejadian ini dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu. Di bawah Raja Kertanagara, Kerajaan Singasari memberikan Arca Amonghapasa sebagai simbol persahabatan kepada Raja Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa. Sedangkan sang Raja Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa membalasnya dengan menjodohkan kedua putrinya yaitu Dara Jingga dan Dara Petak untuk dinikahkan dengan Raja Kertanagara. Akan tetapi saat rombongan utusan Kerajaan Melayu tiba, ternyata Kerajaan Singasari telah hancur akibat serangan dari Kerajaan Majapahit dibawah kepemimpinan Raden Wijaya.

Kemudian Raden Wijaya menikah dengan Dara Petak sehingga mendapatkan keturunan bernama Jayanagara yang pada akhirnya menjadi raja kedua Kerajaan Majapahit. Sedangkan Dara Jingga kemudian dinikahi oleh seorang Dewa (Bangsawan) Majapahit bernama Adwayawarman atau Adwayadwaja yang kemudian dikaruniai putra bernama Adityawarman. Sumber lain menyatakan bahwa bangsawan tersebut tak lain adalah sang raja, Raden Wijaya. Nah, disini para sejarahwan berbeda pendapat.

Pada tahun 1316, Kerajaan Melayu dipimpin oleh Raja Akarendrawarman yang pada masanya telah mampu membuat saluran irigasi untuk kepentingan pertanian di daerah Suruaso. Pada tahun 1347, tahta kerajaan diserahkan kepada keponakannya sendiri yang tak lain adalah Adityawarman.

Raja Adityawarman bergelar Aryadewa Rajapu Aditya. Pada masanya, Kerajaan Melayu berubah menjadi Kerajaan Melayupura serta mengalami puncak kejayaan menguasai pertanian, perdagangan dan pertambangan hingga mampu meluaskan wilayahnya sampai ke Sumatera Barat. Untuk menghindari persinggungan dengan Kerajaan Majapahit yang saat itu sedang gencar-gencarnya melakukan penyatuan nusantara di bawah Raja Hayam Wuruk, Raja Adityawarman lalu memindahkan ibu kota kerajaan di daerah pedalaman Minangkabau. Ia memimpin pemerintahan Kerajaan Melayupura mirip dengan pemerintahan Majapahit.

Saat Raja Adityawarman wafat, pada tahun 1375 pemerintahan dipegang oleh anaknya sendiri yang bernama Ananggawarman sebagai buah perkawinan dengan Puti Reno Jalito. Disaat inipula, Kerajaan Majapahit dipimpin oleh menantu Hayam Wuruk yang bernama Wikramawardhana. Nah, pada masa Raja Wikramawardhana inilah Kerajaan Majapahit menyerang Kerajaan Melayupura dengan ribuan balatentara. Namun upaya Majapahit ini gagal akibat upaya heroik para punggawa Kerajaan Melayupura saat perang.

Raja Ananggawarman tidak memiliki seorang putra sehingga kursi singgahsana kerajaan kosong dalam kurun waktu satu abad. Akibatnya terjadilah huru hara dan sebagian rakyat Melayupura bermigrasi ke daerah lain. Namun pada akhirnya kursi pemerintahan dipegang oleh menantu Raja Ananggawarman yang bernama Wijayawarman, lalu dilanjutkan oleh Puti Panjang Rambut II.

D. Kerajaan Tulangbawang

Nah, selain tentang keempat kerajaan di atas, I-Tsing juga menceritakan tentang adanya Kerajaan To-lang-po-hwang atau Kerajaan Tulangbawang yang diperkirakan telah berdiri di sekitar daerah Lampung. Kerajaan ini telah berdiri pada tahun 700 Masehi. Keturunannya diperkirakan merupakan penduduk Suku Lampung yang mendiami daerah di pinggir Sungai Tulangbawang hingga saat ini. Hingga hari ini, belum ditemukan sebuah bukti otentik yang bisa menjelaskan secara berurutan adanya kerajaan ini maupun silsilah raja-rajanya.

[color-box]Wardaya.2009.Cakrawala Sejarah 2 : untuk SMA / MA Kelas XI (Program Bahasa).Solo:PT. Widya Duta Grafika.[/color-box]

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar