Pengertian Bid’ah Menurut Ahlussunnah Wal Jama’ah

Pengertian Bid'ah menurut para ulama
Pengertian Bid'ah menurut para ulama

Pengertian bid’ah adalah sesuatu yang diadakan tanpa adanya contoh sebelumnya. Sedangkan pengertian bid’ah menurut syara’ adalah sesuatu yang baru secara tertulis tidak terdapat dalam Al Qur’an dan Hadist (Sharih al-Bayan, j. 1, h. 278).

Nah, dalam kehidupan sehari-hari bid’ah banyak ditemukan di dalam kehidupan manusia. Hal ini dikarenakan adanya perkembangan jaman, letak geografis, adat dan budaya yang berbeda dengan keadaan di masa Rasulullah saw.

Pengertian Bid’ah Menurut Ahlussunnah Wal Jama’ah

Apakah semua bid’ah itu sesat? tentu saja tidak karena ini merupakan bagian dari sunnatullah yang harus disyukuri. Yang terpenting bagi umat Islam yaitu harus memahami bid’ah yang diperbolehkan dan bid’ah yang tidak diperbolehkan.

Untuk memahami bid’ah, Rasulullah saw pernah bersabda.

“Barangsiapa membuat-buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya” (Shahih Muslim hadits no.1017).

Dari hadist di atas, kita umat Islam diberi ruang oleh Allah swt untuk bisa membuat gagasan, pendapat atau sesuatu hal yang baru dengan syarat hal baru tersebut baik dan tidak bertentangan dengan syariat.

Rasulullah memperbolehkan karena Beliau tahu bahwa umatnya kelak akan berada pada zaman yang terus berkembang sehingga pasti akan menghadapi tantangan hidup yang berbeda pula (berbeda dari zaman nabi).

Seorang ulama besar, Abu Bakar Ibn al-‘Arabi, menjelaskan perihal bid’ah. Beliau mengatakan

لَيْسَتْ البِدْعَةُ وَالْمُحْدَثُ مَذْمُوْمَيْنِ لِلَفْظِ بِدْعَةٍ وَمُحْدَثٍ وَلاَ مَعْنَيَيْهِمَا، وَإِنَّمَا يُذَمُّ مِنَ البِدْعَةِ مَا يُخَالِفُ السُّـنَّةَ، وَيُذَمُّ مِنَ الْمُحْدَثَاتِ مَا دَعَا إِلَى الضَّلاَلَةِ.

“Perkara yang baru (Bid’ah atau Muhdats) tidak pasti tercela hanya karena secara bahasa disebut Bid’ah atau Muhdats, atau dalam pengertian keduanya. Melainkan Bid’ah yang tercela itu adalah perkara baru yang menyalahi sunnah, dan Muhdats yang tercela itu adalah perkara baru yang mengajak kepada kesesatan”.

Nah, sekarang sudah pada tahu kan? bahwa bid’ah itu dua macam yaitu bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah dholalah (tercela).

Baca juga: Macam-macam bid’ah

A. Bid’ah Hasanah

Bid’ah hasanah adalah bid’ah yang baik dan tidak melanggar syariat Islam. Agar lebih jelasnya, mari kita simak penjelasan oleh Ulama salaf dan ahli hadist terkait bid’ah.

Al-Imam asy-Syafi’i berkata :

الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ، وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ (رواه الحافظ البيهقيّ في كتاب ” مناقب الشافعيّ)

“Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i) (Manaqib asy-Syafi’i, j. 1, h. 469)

Dalam riwayat lain, al-Imam asy-Syafi’i menjelaskan bahwa

اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّـنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ.

“Bid’ah ada dua macam: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang menyalahi Sunnah adalah bid’ah tercela”. (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari)

Selain itu, firman Allah dalam QS. al-Hadid: 27 menerangkan

وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ

“Dan Kami (Allah) jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya (Nabi ‘Isa) rasa santun dan kasih sayang, dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah” (Q.S. al-Hadid: 27)

Dari ayat Al Qur’an di atas, Allah swt memuji umat Nabi Isa as terdahulu yang melakukan bid’ah hasanah untuk mencari keridhaan Allah.

Abdullah ibn ‘Umar menganggap bahwa shalat Dluha sebagai bid’ah karena Rasulullah tidak pernah melakukannya. Tentang shalat Dluha ini beliau berkata:

إِنَّهَا مُحْدَثَةٌ وَإِنَّهَا لَمِنْ أَحْسَنِ مَا أَحْدَثُوْا (رواه سعيد بن منصور بإسناد صحيح)

“Sesungguhnya shalat Dluha itu perkara baru, dan hal itu merupakan salah satu perkara terbaik dari apa yang mereka rintis”. (HR. Sa’id ibn Manshur dengan sanad yang Shahih)

Dalam sebuah hadits shahih, al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dari sahabat Rifa’ah ibn Rafi’, bahwa ia (Rifa’ah ibn Rafi’) berkata: “Suatu hari kami shalat berjama’ah di belakang Rasulullah. Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku’, beliau membaca: “Sami’allahu Lima Hamidah”. Tiba-tiba salah seorang makmum berkata:

رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ

Setelah selesai shalat, Rasulullah bertanya: “Siapakah tadi yang mengatakan kalimat-kalimat itu?”. Orang yang yang dimaksud menjawab: “Saya Wahai Rasulullah…”. Lalu Rasulullah berkata:

رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلَ

“Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya”.

Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, mengatakan: “Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan akan kebolehan menyusun bacaan dzikir di dalam shalat yang tidak ma’tsur, selama dzikir tersebut tidak menyalahi yang ma’tsur” (Fath al-Bari, j. 2, h. 287).

Banyak sekali ayat Al Qur’an, hadist, perilaku para sahabat, pendapat ulama salaf, ulama fiqh maupun ulama hadist yang membolehkan umat Islam untuk melakukan bid’ah hasanah (baik).

Adapun contoh bid’ah hasanah antara lain penjilitan Al Qur’an-Hadist, Shalat Sunnah dua raka’at sebelum dibunuh, tawaf, bermain musik rebana, nonton televisi, handphone, internetan dll.

Di Indonesia, banyak sekali budaya-budaya peninggalan agama Hindu dan Budha yang kemudian dirubah oleh wali songo sehingga menjadi budaya Islam seperti kenduri atau pengajian akbar malam jum’at kliwon.

Contoh lain bid’ah hasanah yaitu mengadakan maulud Nabi, shalawatan, acara takjilan, acara reuni sekolah, sepak bola dll. Semua ini terdapat unsur barunya yang tidak ada di zaman Nabi, tapi tidak bertentangan dengan syariat Islam.

Baca Juga: Komando dzikir di sholat terawih

B. Bid’ah Dhalalah

Bid’ah dhalalah (tercela) merupakan bid’ah yang buruk dan melanggar syariat Islam. Adapun dalilnya sudah kita bahas di awal halaman ini. Nah, sekarang contoh bid’ah dhalalah antara lain mengharamkan yang tidak diharamkan oleh Allah, pengingkaran terhadap ketentuan (Qadar) Allah, mengkafirkan orang-orang mukmin yang melakukan dosa besar dll.

Demikianlah pengertian bid’ah menurut ahlussunnah wal jama’ah yang selama ini dipegang teguh oleh mayoritas umat Islam.

Pos terkait