Sejarah Berdirinya Kerajaan Mataram Kuno

Candi Prambanan
Gambar. Candi Prambanan merupakan salah satu Candi Hindu di Indonesia (Sumber: Heather Cristie di situs rantinandrovin.com)

A. Sejarah Berdirinya Kerajaan Mataram Kuno

Dalam cerita Parahyangan, dikisahkan tentang adanya sebuah kerajaan di daerah jawa barat yang bernama Kerajaan Galuh. Kerajaan ini dipimpin oleh raja yang bernama Sanna (Sena). Raja Sanna tidak memiliki pewaris tahta kerajaan hingga pada suatu hari terjadilah perebutan kekuasaan yang dipelopori oleh saudara perempuannya sendiri yaitu Sanaha. Pada saat terjadi peperangan, Raja Sanna gugur di medan perang namun Sanaha beserta keluarga raja lainnya berhasil melarikan diri ke lereng gunung merapi hingga akhirnya membuat kerajaan baru yang bernama Kerajaan Mataram sekitar abad 717 Masehi. Kerajaan mataram memiliki ibu kota di Medang ri Poh Pitu dengan raja pertamanya bernama Raja Sanjaya, tak lain adalah putra dari Sanaha. Hingga tulisan ini ditulis, para ahli belum menemukan letak Medang ri Poh Pitu yang sesungguhnya.

Lain halnya seperti dalam cerita parahyangan, pada Prasasti Canggal dikisahkan bahwa raja pertama kerajaan mataram adalah Raja Sanna (Sena) yang kemudian diwariskan kepada anak dari saudara perempuannya sendiri yakni Sanaha yang bernama Raja Sanjaya. Raja Sanjaya mampu memimpin kerajaan mataram penuh kebijaksaan sehingga rakyatnya mendapatkan jaminan kemakmuran, ketentraman dan keamanan sehingga dalam Prasasti Canggal dikisahkan bahwa tanah jawa kaya akan padi dan emas. Selain itu, nama Raja Sanjaya juga disebutkan dalam Prasasti Balitung.

Prasasti Canggal dikeluarkan pada masa pemerintahan Raja Sanjaya bertuliskan huruf pallawa, berbahasa sanskerta dan berangka tahun Cruti Indria Rasa atau 654 Saka atau sekitar 732 Masehi. Prasasti ini terletak di Gunung Wukir, sebelah selatan Muntilan, Jawa Tengah. Adapun isinya menceritakan bahwa pada tahun Cruti Indria Rasa, Raja Sanjaya mendirikan lingga di Bukit Stirangga (Bukit Wukir) dan daerah suci Kunjarakunja yaitu Sleman (kunjara= gajah = leman, kunja = hutan). Lingga ini dibuat untuk upacara keselamatan rakyatnya serta pemujaan kepada Dewa Syiwa, Brahma dan Wisnu.

Candi Prambanan
Gambar. Candi Prambanan merupakan salah satu Candi Hindu di Indonesia (Sumber: Heather Cristie di situs rantinandrovin.com)
Bukti sejarah lainnya terdapat pada Prasasti Mantyasih atau Prasasti Kedu yang dibuat pada masa pemerintahan Raja Balitung. Nah, pada prasasti ini disebutkan bahwa Raja Sanjaya merupakan raja pertama kerajaan Mataram yang kemudian dilanjutkan oleh raja Panangkaran, raja Panunggalan, raja Warak, raja Garung, raja pikatan, raja Kayuwangi, raja Watuhumalan dan raja Balitung.

B. Pemerintahan dinasti Sanjaya

Raja-raja dari dinasti Sanjaya yang dituliskan pada prasasti mantyasih antara lain:

1. Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (717 – 746 M)

Raja Sanjaya merupakan raja pertama kerajaan Mataram sekaligus pendiri dinasti sanjaya. Setelah wafat, kekuasaan sang Raja dilanjutkan oleh Raja Panangkaran.

2. Sri Maharaja Rakai Panangkaran (746 – 784 M)

Nama raja Panangkaran terukir pada prasasti kalasan (778 M) yang mengisahkan bahwa sang raja membuat candi Kalasan untuk memuja Dewi Tara, istri Bodhisatwa Gautama dan candi Sari untuk dijadikan wihara bagi umat Buddha. Pembuatan candi ini atas permintaan Raja Wisnu dari dinasti Syailendra (beragama Budha). Pada masa ini, dalam pembuatan candi kedua penganut agama ini rupanya bisa bekerja sama dengan baik namun pada bidang politik, kedua penganut agama ini mengalami perebutan kekuasaan yang sangat sengit. Hingga akhirnya terjadilah perpecahan di Kerajaan Mataram sehingga menjadi dua kerajaan yaitu Kerajaan Mataram Hindu (dinasti Sanjaya) dan Kerajaan Mataram Budha (Dinasti Syailendra). Wilayah Kerajaan Mataram Hindu meliputi Jawa Tengah bagian utara dan diperintah oleh Dinasti Sanjaya. Sedangkan Kerajaan Mataram Budha memiliki wilayah di daerah Jawa Tengah bagian selatan.

Suatu ketika terjadilah penyerangan yang dilakukan oleh dinasti Syailendra yang dipimpin oleh Raja Bhanu. Keluarga dinasti Sanjaya mengalami kekalahan hingga akhirnya melarikan diri ke daerah Dieng, Wonosobo. Sedangkan raja Rakai Panangkaran dipaksanya untuk merubah agama dari Hindu ke Budha. Namun raja Mataram seterusnya (setelah raja Panangkaran) tetap beragama Hindu.

3. Sri Maharaja Rakai Panunggalan (784 – 803 M)

4. Sri Maharaja Rakai Warak (803 – 827 M)

Raja Pakai Panunggalan dan Warak dinilai kurang cakap dalam memimpin pemerintahan sehingga keadaan ini dimanfaatkan oleh dinasti Syailendra untuk meluaskan daerah kekuasannya atas Kerajaan Mataram. Setelah raja Pakai Warak meninggalkan jabatannya kemudian kekuasaannya dialihkan ke suatu kepemimpinan sementara di bawah Ratu Dyah Gula (827 – 828 M). Tidak banyak prasasti yang menceritakan tentang Ratu Dyah Gula karena mungkin dirinya menjabat hanya sementara sebagai masa peralihan sehingga tidak begitu dianggap penting untuk dikisahkan perannya dalam memimpin Mataram Hindu.

5. Sri Maharaja Rakai Garung Patapan (828 – 847 M)

Raja rakai Garung beristana di daerah Dieng, Wonosobo. Pada masa pemerintahannya, sang raja membuat prasasti Pengging (819 M) dimana nama Raja Garung disamakan dengan Patapan Puplar.

6. Sri Maharaja Rakai Pikatan (847 – 855 M)

Pada masa Raja Rakai Pikatan gelora semangat untuk menegakkan dinasti Sanjaya mulai dibangkitkan kembali. Terjadilah opsi penyatuan kerajaan Mataram Hindu dan Mataram Budha dengan jalur pernikahan. Raja Pikatan dari dinasti Sanjaya kemudian menikah dengan Pramodhawardhani dari Dinasti Syailendra sehingga kerajaan Mataram bisa disatukan kembali.

Namun rupanya pernikahan antara Raja Pikatan dengan Pramodhawardhani mendapatkan pertentangan sengit oleh Balaputeradewa yang tak lain adalah adik dari Pramodawardhani. Akibatnya terjadilah peperangan antara Raja Pikatan dan Balaputradewa dimana akhir dari peperangan ini dimenangkan oleh Raja Pikatan. Balaputradewa pun pada akhirnya melarikan diri ke Boko namun keberadaannya tidak dikehendaki hingga akhirnya pindah ke Sriwijaya yang kemudian dinobatkan menjadi raja di Kerajaan Sriwijaya. Balaputradewa memiliki darah keturunan Sriwijaya karena ibunya -Dewi Tara- merupakan keturunan Sriwijaya.

Raja Pikatan memiliki beberapa nama lain yakni Kumbhayoni dan Jatiningrat (Agastya). Pada masa pemerintahannya, ditulisnya beberapa prasasti diantaranya:

a. Prasasti Pereng (862 M) berisi tentang penghormatan kepada Dewa Syiwa dan Kumbhayoni.

b. Prasasti Code D 28 (856 M) memiliki tiga isi yakni kekuasaan akan diwariskan kepada Lokapala (Kayuwangi), Pikatan membangun candi prambanan dan mengisahkan peperangan antara Walaputra (Balaputradewa) dengan Jatiningrat (Pikatan) dimana Balaputradewa mengalami kekalahan sehingga harus melarikan diri ke Ungaran (Ratu Boko).

c. Prasasti Ratu Boko mengisahkan tentang pendirian tiga lingga yang digunakan sebagai tanda kemenangan. Ketiga lingga tersebut antara lain Krttivasa Lingga (Syiwa sebagai petapa berpakaian kulit harimau), Trymbaka Lingga (Syiwa menghancurkan benteng Tripura yang dibuat raksasa) dan Hara Lingga (Syiwa sebagai dewa tertinggi atau paling berkuasa).

7. Sri Maharaja Kayuwangi (855 – 885 M) saat berkuasa didampingi oleh staf penasehat kerajaan yang terdiri dari lima orang patih yang diketuai oleh mahapatih. Sang Raja juga membuat tiga prasasti yakni:

a. Prasasti Ngabean (879 M) terbuat dari tembaga dan ditemukan di daerah Magelang.

b. Prasasti Surabaya menceritakan tentang penggunaan gelar gelar Sajanotsawattungga oleh Kayuwangi.

c. Prasasti Argopuro (863 M)

8. Sri Maharaja Watuhumalang (894 – 898 M)

Pada masa kekuasaan raja Kayuwangi sampai raja Dyah Balitung terjadi peperangan saudara untuk saling merebut tahta kerajaan sehingga membuat kekuasaan seorang raja hanya bisa bertahan singkat. Diantaranya yakni kekuasaan Dyah Taguras (885 M), Dyah Derendra (885–887 M) dan Rakai Gurunwangi (887 M). Namun yang tercatat dalam prasasti Kedu hanyalah Sri Maharaja Watuhumalang.

9. Sri Maharaja Watukura Dyah Balitung (898 – 913 M)

Raja Dyah Balitung merupakan raja terbesar kerajaan Mataram karena mampu menyatukan kerajaan Mataram dan meluaskan kekuasaannya dari jawa tengah hingga jawa timur. Sang raja pun memiliki banyak gelar yakni Balitung Uttunggadewa (tercantum dalam prasasti Penampihan), Rakai Watukura Dyah Balitung (tercantum dalam kitab Negarakertagama), Dharmodaya Mahacambhu (tercantum dalam prasasti Kedu) dan Rakai Galuh atau Rakai Halu (tercantum dalam prasasti Surabaya).

Pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung, dibuatnyalah beberapa prasasti yakni: Prasasti Penampihan di Kediri (898 M), Prasasti Wonogiri (903 M), Prasasti Mantyasih di Kedu (907 M) dan Prasasti Djedung di Surabaya (910 M).

Setelah raja Dyah Balitung wafat, tahta kerajaan diturunkan berturut-turut kepada Sri Maharaja Daksa lalu diteruskan oleh Sri Maharaja Tulodhong, Sri Maharaja Wawa dan terakhir Raja Sindhok.

C. Pemerintahan dinasti Syailendra

1. Raja Bhanu (752 – 775 M) berarti matahari merupakan Raja dari dinasti Syailendra yang pertama. Namanya ini terukir dalam prasasti yang ditemukan di daerah Plumpungan (752 M) dekat Salatiga.

2. Raja Wisnu (775 – 782 M) dikisahkan dalam beberapa prasasti yakni Prasasti Ligor B, Prasasti Kalasan (778 M) dan Prasasti Ratu Boko (778 M). Raja Wisnu memiliki gelar sebagai Syailendravamsaprabhunigadata Sri Maharaja yang artinya pembunuh musuh
yang gagah berani.

3. Raja Indra (782 – 812 M) membuat beberapa prasasti yakni prasasti Kelurak (782 M) yang menyebutkan pendirian patung Boddhisatwa Manjusri, yang mencakup Triratna (candi Lumbung), Vajradhatu (candi Sewu) dan Trimurti (candi Roro Jongrang).

4. Samaratungga (812 – 832 M) membuat prasasti karang Tengah yang berangka tahun Rasa Segara Krtidhasa atau 746 Saka (824 M). Pada prasasti ini diceritakan tentang putrinya yakni Pramodhawardhani dan pembangunan candi Prambanan oleh putrinya tersebut. Pada masa pemerintahan Samaratungga juga mampu membuat candi Borobudur yang merupakan candi terbesar umat agama Budha. Akhir dari masa pemerintahan Raja Samaratungga diakhiri dengan menikahnya Pramodhawardhani dengan Raja Pikatan dari Dinasti Syailendra sekaligus sebagai upaya penyatuan politik dan kekuasaan menjadi sebuah kerajaan Mataram yang bersatu. Selanjutnya kerajaan Mataram dipimpin oleh Raja Pikatan.

D. Kehidupan Sosial Ekonomi

Kerajaan Mataram merupakan kerajaan yang tertutup dari dunia luar sehingga sulit untuk mengalami perkembangan. Adapun mata pencaharian penduduknya adalah dari hasil pertanian agraris. Baru pada masa Raja Dyah Balitung, kerajaan Mataram mengalami perkembangan yang sangat pesat sehingga banyak bermunculan pusat-pusat perdagangan.

E. Kehidupan Agama dan Kebudayaan

Kehidupan di kerajaan Mataram terdiri dari dua kepercayaan yaitu Hindu (dinasti sanjaya) dan Budha (dinasti syailendra). Pada awalnya kedua penganut agama ini saling bersaing sengit hingga akhirnya mengalami perpecahan dalam beberapa waktu. Namun kemudian berhasil bersatu kembali berkat adanya sikap toleransi yang disertai menikahnya raja Pikatan (dinasti sanjaya) dengan putri Pramodhawardhani (dinasti syailendra). Pembangunan tempat ibadah pun dilakukan secara bersama tanpa adanya permusuhan.

F. Kemunduran Kerajaan Mataram Kuno

Kemunduran kerajaan mataram kuno disebabkan oleh faktor berikut yaitu adanya faktor alam yang berbeda antara wilayah jawa tengah yang cenderung tertutup dengan dunia luar dan jawa timur yang lebih subur dan terbuka sehingga arus perdagangan lebih baik. Selain itu adanya faktor kehati-hatian atau kewaspadaan akan kekuasaan kerajaan Sriwijaya yang dikuasai oleh dinasti Syailendra. Oleh karena itu kerajaan Mataram Kuno harus memindahkan ibu kotanya di daerah Jawa Timur serta hidup dalam tekanan bayang-bayang kerajaan Sriwijaya yang berpotensi menyerang.

Baca Selanjutnya Sejarah Berdirinya Kerajaan Medang Mataram

[color-box]Ari Listiyani,Dwi.2009.Sejarah 2 : Untuk SMA/MA Kelas XI Program Bahasa. Solo: CV. Grahadi.
Suwito, Triyono.2009.Sejarah 2 : Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah Program IPS Jilid 2 Kelas XI. Bandung:Penerbit Titian Ilmu.
Wardaya.2009.Cakrawala Sejarah 2 : untuk SMA / MA Kelas XI (Program Bahasa).Solo:PT. Widya Duta Grafika.[/color-box]

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar

  1. Banyaknya bangunan bersejarah di bumi nusantara ini menunjukan bahwa dulu di Indonesia merupakan negara dengan peradaban yang besar… 🙂